Perfilman

Wajah Perfilman Nasional di hari film nasional

23 Februari 2023
Oleh: Dr. Naswan Iskandar, M.Sn, CFP

Estimasi dibaca dalam 6.6 menit

Pada kurun waktu lima tahun terakhir, pertumbuhan Perfilman Nasional terbilang cukup menggembirakan. Tren positif ini terlihat dari beberapa indikator, antara lain jumlah produksi film dan jumlah penonton. Pada tahun 2018 jumlah produksi film nasional sebanyak 132 judul dengan 51,2 juta penonton. Tahun 2019 jumlah produksi film nasional sebanyak 129 judul dengan penonton relatif tetap seperti tahun sebelumnya sebanyak 51,2 juta penonton. Pada saat pandemi COVID-19 bergejolak hebat kurun tahun 2020 hingga tahun 2022 pertumbuhan Perfilman Indonesia terbukti mampu bertahan dengan kondisi dinamis yang terlihat pada tahun 2020 jumlah produksi film melonjak tajam mencapai 289 judul dengan sekitar 19 juta penonton. Tahun 2021 jumlah produksi film menjadi sekitar 36 judul dengan 4,5 juta penonton, dan pada tahun 2022, jumlah produksi film kembali tumbuh menjadi 47 dengan raihan lebih dari 24 juta penonton. Pada tahun 2022, setelah lebih dari dua tahun dihantam pandemi COVID-19, film-film Indonesia kembali meramaikan layar bioskop. Setidaknya tercatat lebih dari 10 (sepuluh) film karya insan Perfilman Indonesia yang berhasil meraih lebih dari satu juta penonton. Keberhasilan ini tidak hanya berdampak pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan tontonan film Indonesia, namun juga merupakan pencapaian gemilang berupa raihan sekitar 61% market share penonton film di Indonesia, mengungguli capaian market share film impor yang hanya memperoleh sekitar 39% saja. Hal ini merupakan prestasi tertinggi sepanjang sejarah Perfilman Indonesia. Capaian prestasi gemilang di akhir tahun 2022 merupakan momentum penting yang mengokohkan Perfilman sebagai industri dan pranata sosial yang memiliki potensi untuk terus dikembangkan menjadi lebih kuat dan lebih maju, walaupun masih harus menghadapi berbagai tantangan.

Indikator berikutnya adalah jumlah dan persebaran layar bioskop. Meskipun jumlah dan sebaran bioskop masih jauh untuk dikatakan dalam kondisi ideal, saat ini terdapat 517 lokasi bioskop dengan jumlah layar sebanyak 2.145 layar yang tersebar di sekitar 115 kota/kabupaten di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah layar ini belum termasuk dengan jumlah layar yang digagas dan dikembangkan oleh lebih dari 60 komunitas perfilman di Indonesia. Di sisi lain tren penggunaan data sebagai alat bantu dalam media online berkembang pesat. Dari data Telkomsel menyebutkan pemasukan broadband dari perumahan meningkat 17% dari tahun ke tahun. Penggunaan data streaming video meningkat hingga 30%. Pelanggan digital selama tahun 2020-2021 meningkat sebanyak 40%. Layanan streaming baik VOD maupun OTT turut meningkat pesat. Semakin hari, platform media baru semakin menjanjikan sebagai kanal alternatif bagi penonton dan sebagai lapangan kerja bagi pelaku usaha Perfilman Nasional. Namun begitu, tren positif ini juga menyimpan tantangan besar, kanal digital masih sangat rentan pembajakan. Hal ini merupakan ancaman serius bagi industri film nasional.

Pada ekosistem Perfilman, bioskop dan digital streaming merupakan bentuk dari aspek ekshibisi. Dalam perspektif pengembangan perfilman, aspek-aspek ekosistem perfilman yang meliputi pendidikan, apresiasi, produksi, distribusi, ekshibisi, penonton, dan pengarsipan film selayaknya dipandang sebagai sebuah siklus, sebagai sebuah sistem yang terintegrasi. Setiap aspek dalam ekosistem akan saling mempengaruhi. Jika terdapat salah satu aspek dalam ekosistem terganggu dan rapuh, akan menyebabkan aspek lainnya akan terganggu pula.

Seiring pertumbuhan jumlah produksi film Indonesia, jumlah orang yang bekerja di produksi film Indonesia juga terus meningkat secara signifikan. Data filmindonesia.or.id mengungkapkan pada kisaran tahun 1998 hingga tahun 2017 jumlah pekerja film Indonesia mencapai 23 ribu orang. Namun begitu, di satu sisi terdapat kenaikan jumlah pekerja film, di sisi lain dijumpai fenomena tingkat turnover pekerja film yang juga tinggi, mencapai kisaran 64%. Sebagian besar pekerja baru yang terlibat dalam produksi film memilih tidak meneruskan karier di sektor ini. Dapat ditarik asumsi bahwa lebih dari separuh pekerja film memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam produksi film lain setelah terlibat produksi film pertama. Sementara, tiap tahun peningkatan minat bekerja di Perfilman semakin meninggi. Ada banyak talenta baru hasil dari pendidikan dan pelatihan Perfilman setiap tahun ‘mengantri’ untuk masuk dan bekerja di industri film Indonesia.

Pada akhir tahun 2020, setidaknya terdapat 21 perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program studi film (atau berorientasi produksi film), 63 sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan kompetensi keahlian produksi film yang menghasilkan lulusan dengan minat utama bekerja di industri film. Angka lembaga pendidikan formal ini belum termasuk ada banyak perguruan tinggi yang tidak memiliki program studi film, namun memiliki konsentrasi atau jurusan terkait produksi film, serta ada banyak pula talenta di bidang Perfilman yang lahir dari lembaga pendidikan non formal (seperti workshop, festival, dan kompetisi). Hasil analisis Lembaga Demografi Universitas Indonesia pada kurun waktu tahun 2019 dan 2020, subsektor film, animasi, dan video memiliki pertumbuhan yang paling tinggi dari keseluruhan sektor industri kreatif, yaitu sebesar 19,76%. Potensi tenaga kerja subsektor film, animasi, dan video meningkat dari 46 ribu orang pada tahun 2019 menjadi 64 ribu orang pada tahun 2020. Dari data ini dapat dibaca, dibalik pertumbuhan penawaran yang meningkat terdapat ada banyak calon tenaga kerja yang tidak dapat terserap ke dalam sektor tersebut. Hal ini berarti bahwa, selain efek tenaga kerja yang menjadi pengangguran, ada juga efek orang yang baru lulus dari pendidikan formal (seperti perguruan tinggi dan sekolah menengah) yang tidak dapat secara langsung atau cepat mendapat pekerjaan.

Tinjauan kondisi pekerja film di Indonesia dari tahun 1998 hingga tahun 2020 di atas dapat ditemukan dua fenomena negatif yang penting untuk segera dientaskan. Pertama, fenomena turnover pekerja film yang tinggi, dan fenomena kedua berupa kondisi calon pekerja hasil dari lembaga pendidikan tidak langsung terserap di industri film. Tingginya tingkat turnover merupakan gejala yang berpotensi laten membahayakan pertumbuhan industri film. Peningkatan kompetensi pekerja dalam industri film merupakan wujud kemampuan yang terasah dari banyaknya keterlibatan pekerja dalam berbagai produksi yang berbeda. Sedangkan, gejala rendahnya orang yang tetap bekerja dalam industri film menjadi indikasi rendahnya jumlah pekerja film yang memiliki pengalaman dan keahlian yang tinggi. Hal ini akan berakibat pada saat kondisi pertumbuhan Perfilman yang semakin meninggi akan mengalami kendala kekurangan pekerja film yang kompeten.

Hasil analisis gap permintaan dan penawaran tenaga kerja di industri kreatif dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa secara umum gap antara permintaan dan penawaran terjadi karena adanya perbedaan skil yang dimiliki tenaga kerja yang tersedia di pasar (penawaran) dengan tenaga kerja yang dibutuhkan di industri (permintaan), serta informasi asimetris antara permintaan dan penawaran. Penyebab gap tersebut dapat diidentifikasi karena beberapa kondisi sebagai berikut; 1). kurikulum lembaga pendidikan yang belum sesuai dengan kebutuhan industri; 2). kurangnya pengajar yang memiliki kompetensi Perfilman, pengajar umumnya hanya mendapatkan training namun tidak pernah menjadi praktisi; 3). lembaga pendidikan memiliki teknologi yang cenderung ketinggalan, sehingga ada kesenjangan ilmu maupun teknologi antara lembaga pendidikan dan industri; dan 4). kurangnya sertifikasi kompetensi pekerja film, menyebabkan pekerja baru yang tidak memiliki koneksi tidak mudah terserap dalam industri.

Perekrutan tenaga kerja di industri film umumnya bersifat tertutup dan hanya merekrut tenaga kerja yang sudah dikenal. Salah alasan mendasar terkait pola perekrutan yang cenderung tertutup ini karena persoalan terkait ‘cara bekerja’ dalam memproduksi film yang belum terstandardisasi. Modus kerja produksi film di Indonesia dalam memperlakukan film sebagai komoditas sangat bervariasi, beroperasi sesuai dengan ‘kebiasaan’ masing-masing kelompok (pelaku usaha dan pelaku kegiatan) produksi film. Begitu juga cara kerja di bagian-bagian dalam produksi film (misalnya, departemen kamera, departemen editing, dan lainnya) cenderung masif jika masih dalam satu departemen, namun cenderung rentan menjadi rapuh jika terkoneksi dengan departemen lain dalam produksi film. Industri film Indonesia belum memiliki konvensi tentang standardisasi, baik standard operating procedure (SOP), standar alur kerja, standar etika kerja, dan standar mutu dalam ekosistem kerja produksi, distribusi hingga ekshibisi. Belum adanya SOP dan berbagai standar yang menjadi acuan dalam memproduksi film mengakibatkan deskripsi tugas dan tanggung jawab pekerja dalam produksi film menjadi bias, tak jarang dalam pelaksanaan terjadi tumpang-tindih, dan diterjemahkan oleh lembaga pendidikan dengan asimetris. Dampak lain yang kerap dijumpai adalah perlakuan terhadap pekerja film yang masih relatif rendah. Ketiadaan standar kerja pada subsektor ini mengakibatkan hubungan kerja di industri ini yang cenderung belum sehat. Skema kontrak kerja, durasi kerja, dan jaminan sosial bagi pekerja film masih belum berpihak pada pekerja film. Pada akhirnya, film sebagai komoditas masih menjadi produk yang ‘sangat plastis’ dan sulit untuk diukur, baik dalam tahapan perencanaan dan proyeksi hingga capaian akhir dalam bentuk ekshibisi. Alih-alih akan ‘menitipkan’ nilai-nilai dan karakter bangsa dalam konten, film sebagai produk ekonomi kreatif masih jauh dari pandangan investor sebagai komoditas bisnis yang menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi.

Merujuk Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, pada pasal 1 angka 1 film sekurangnya mempunyai misi sebagai: karya seni budaya, media komunikasi massa, dan sebagai alat penetrasi kebudayaan. Untuk mencapai ketiga misi itu, pasal 4 UU Perfilman menyebutkan bahwa Perfilman memiliki 2 fungsi penting, berfungsi ekonomi dan sebagai pendorong karya kreatif, melalui penyelenggaraan Perfilman yang bersifat non-komersil dan komersil dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama, etika, moral, kesusilaan, dan budaya bangsa. Baik sebagai karya dan atau media, film tidak bersifat bebas nilai, karena film juga merupakan pranata sosial dengan kepribadian dan karakter bangsa.

Dalam perspektif fungsi ekonomi, UU Perfilman mengamanatkan film harus dapat berfungsi memajukan kesejahteraan masyarakat dengan mengedepankan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Fungsi ekonomi film selayaknya turut mewujudkan cita-cita negara: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan mewujudkan suatu perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan, sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945. Oleh karenanya, penguatan industri dan ekosistem Perfilman merupakan sebuah keniscayaan.

Hari Film Nasional tahun 2023 tak hanya sebagai wujud perayaan bahwa pada tanggal 30 Maret 1950 yang lalu merupakan momen sejarah karena pada tanggal tersebut pertama kalinya film cerita dibuat oleh orang dan perusahaan Indonesia. Namun hendaknya, perayaan Hari Film Nasional 2023 dijadikan sebagai momen yang baik untuk berpikir kritis tentang Perfilman Nasional. Memandang upaya penguatan dan pemajuan Perfilman di Indonesia dalam bingkai ekosistem Perfilman Nasional.

Dalam konteks penguatan dan pemajuan Perfilman Nasional, dapat dilihat dalam lingkup yang lebih luas meliputi keseluruhan ekosistem infrastruktur, yaitu kebutuhan-kebutuhan dasar untuk dapat berlangsungnya aspek-aspek dalam perfilman, dan suprastruktur yang berhubungan dengan aspek produksi, distribusi, ekshibisi, pendidikan, kepenontonan, dan pengarsipan film. Sehingga pada akhirnya akan terwujud perfilman Indonesia yang berdaya saing, tumbuh dan beragam.

Menuju Perfilman Nasional yang berdaya saing diperlukan kerangka pikir perfilman yang sistemik dan fokus yang mendalam dari seluruh pemangku kepentingan Perfilman. Karena berdaya saing tidak hanya dapat ditafsirkan sebagai kemampuan berkompetisi secara nasional dan global, berdaya saing adalah kesatuan dan keterpaduan antara lembaga, kebijakan, dan faktor-faktor yang menentukan produktivitas Perfilman Nasional.

Dengan begitu, perayaan Hari Film Nasional 2023 merupakan wujud dari amanat Keputusan Presiden nomor 25 tahun 1999 tentang Hari Film Nasional, sebagai upaya meningkatkan kepercayaan diri, motivasi para insan film Indonesia serta untuk meningkatkan prestasi yang mampu mengangkat derajat film Indonesia secara regional, nasional dan internasional.