Kategori

Khasanah

MEMPERTANYAKAN FILM NASIONAL

20 April 2017
Oleh: Adrian Jonathan Pasaribu

Estimasi dibaca dalam 11.9 menit

Sejarah film Indonesia adalah pergumulan tentang identitas kebangsaan. Sejarah film Indonesia bermula dari Darah dan Doa, atau setidaknya begitu yang disepakati dalam penetapan Hari Film Indonesia, baik yang diajukan oleh Dewan Film Nasional pada 1962 maupun yang diresmikan oleh Presiden BJ Habibie pada 1999. Pandangan ini diamini salah satunya oleh Misbach Yusa Biran, yang secara vokal menegaskan bahwa film-film yang dibuat sebelum 1950 bukanlah film Indonesia. Bagi beliau, status film nasional hanya sah apabila sebuah karya dibuat dengan kemerdekaan politik. Oleh karena itu film-film pada masa kolonial tidak diperhitungkan sebagai bagian dari sejarah film Indonesia, melainkan sejarah pembuatan film di Indonesia.

Pandangan etno-nasionalistik inilah yang mendasari pewacanaan tentang konsep film nasional di Indonesia. Menurut Krishna Sen, bias seperti ini dipicu oleh kemunculan sebuah generasi pembuat film pribumi yang sadar diri, nasionalis, di mana Usmar Ismail menjadi tokoh yang paling dirayakan. Melalui Darah dan Doa, Usmar tidak hanya memotret apa yang dibayangkan sebagai kepribadian nasional, tapi juga mengedepankan pembuatan film yang tidak bergantung pada perhitungan komersial apa pun, dan semata-mata hanya didorong idealisme. Terungkapkanlah cetak biru film Indonesia: nasionalis, idealis, dan dibuat oleh pribumi atau orang asli Indonesia. Konsepsi inilah yang mendominasi kerangka sejarah sinema Indonesia hingga saat ini.

Di sisi lain, identitas kebangsaan tidak pernah tunggal, tidak juga tetap. Status pribumi dan orang asli Indonesia kian dipertanyakan kesahihannya di tengah dinamika sosial-politik dan pasar global yang terus berkembang. Konsekuensinya, apa yang disebut film nasional juga tidak sesederhana yang dibayangkan Misbach. Penetapan Darah dan Doa sebagai titik mula perfilman Indonesia sesungguhnya adalah sikap elitis yang meminggirkan keragaman tumbuh-kembang bangsa Indonesia, juga sineas-sineasnya, pada masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.

Imajinasi Kebangsaan

Di Indonesia, film nasional dibayangkan sebagai produk adiluhung yang steril dari niatan komersil serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Musuhnya, atau yang dibayangkan sebagai oposisi, adalah film-film hiburan yang tidak menawarkan nilai apapun, yang hanya ingin menguras habis kantong para penonton.

Produksi film-film hiburan semacam itu lazim terjadi dalam lanskap perfilman di Indonesia pra-kemerdekaan. Dalam risalah sejarah populer tentang sinema Indonesia, produser Tionghoa dianggap sebagai pihak yang telah memperkenalkan dan mempopulerkan modus produksi film-film hiburan nan eskapis. Salim Said menyebutnya sebagai dosa asal industri film Indonesia. Sentimen serupa lebih dahulu dituturkan Asrul Sani pada 1951, Tidak usah disangka lagi bahwa produser-produser film di Indonesia semata-mata hanya memikirkan kantong dan tidak menimbang atau bermaksud untuk mendirikan sesuatu yang patut diberi harga tinggi. Boleh dikatakan: mereka semua adalah orang Tionghoa.

Konsekuensi dari logika rasis ini adalah melekatnya komersialisme pada pelaku perfilman keturunan Tionghoa di Indonesia. Hal serupa nantinya turut dialami oleh produser-produser keturunan India ketika masuk dalam industri film Indonesia pada masa Orde Baru. Peliknya lagi, ketika ada produser Tionghoa yang mencoba mengangkat cerita dan kebudayaan nusantara, film-film mereka dianggap sebagai oportunis, tidak memiliki idealisme, dan sekadar comot sana-sini.

Fakta bahwa banyak produser keturunan Tionghoa yang berorientasi komersil itu tidak bisa dibantah. Namun, salah kaprah juga kalau kita hanya memaknai keberadaan mereka dalam perfilman Indonesia melalui perspektif dikotomois pribumi dan non-pribumi. Faktanya, kiprah sineas-sineas peranakan ini tidak sebatas capian ekonomi semata. Boleh dibilang, melalui medium film, mereka berperan penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan kesadaran nasional pra-kemerdekaan.

Dekade 1930-an dan 1940-an adalah masa-masa ketika citra visual Indonesia atau Hindia Belanda dirumuskan. Sineas Belanda lebih terfokus kepada representasi etnografis Hindia Belanda sebagai koloni jajahan mereka, sementara sineas keturunan Tionghoa cenderung membangun representasi fiksional Hindia Belanda. Inspirasi sineas-sineas peranakan ini berasal dari film-film Hollywood dan Shanghai yang mereka impor pada 1924. Menariknya, sineas keturunan Tionghoa ini tidak saja sekadar mengadaptasi, tapi juga membuatnya bisa dinikmati oleh semua kelompok kelas dan ras.

Pada masa itu, film-film impor dari Cina aslinya ditujukan untuk penonton Tionghoa setempat. Penayangannya sendiri terbuka untuk semua kelompok ras, bahkan menarik penonton pribumi dalam jumlah cukup banyak. Patut dicatat, pemutaran film di bioskop masa kolonial terbagi dalam tiga kelas berdasarkan ras: Eropa, Tionghoa, dan pribumi. Masing-masing kelas punya standar tiketnya sendiri. Meski mahal, para pengusaha bioskop keturunan Tionghoa tidak menutup pintu bagi penonton pribumi. Faktanya, delapan persen penonton film pada masa kolonial adalah penonton pribumi dan peranakan Tionghoa. Dari sinilah timbul inspirasi di kalangan sineas peranakan, bahwasanya penonton berbahasa lokal Melayu (yang kemudian menjadi bahasa Indonesia) merupakan penonton potensial untuk film.

Purwarupa pasar film di Indonesia pun terbentuk. Sineas-sineas keturunan Tionghoa memadukan pakem visual film Hollywood dan Shanghai untuk mengangkat cerita-cerita lokal. Film-film mereka jadi nampak khas karena selalu menampilkan potret warga nusantara yang begitu kosmpolitan dan hibrida. Contohnya bisa kita lihat dalam Tjonat (1930), Terang Boelan (1937), Impian di Bali (1939), dan Rentjong Atjeh (1940). Film-film tersebut mempertemukan narasi-narasi dari berbagai belahan di Indonesia dan gaya teater rakyat dengan spektakel khas film Mandarin seperti bela diri.

Lebih penting lagi, film-film produksi sineas peranakan selalu mengambil latar pemandangan alam lokal, dan menggunakan kombinasi pemeran pribumi dan Tionghoa. Dialog dalam film, atau terkadang subtitle, disusun menggunakan bahasa Melayu lokal. Hal serupa turut diterapkan bahkan ketika mereka memproduksi film silat ala Mandarin atau film yang berdasar dari cerita-cerita Tionghoa. Niatan awalnya memang untuk eksploitasi pasar. Tapi, dalam prosesnya, sineas-sineas peranakan inilah yang mempopulerkan cikal-bakal bahasa Indonesia melalui karya mereka. Lebih dari itu, mereka jugalah yang merintis perumusan identitas visual akan keragaman nusantara melalui medium film.

Kebudayaan-kebudayaan setempat, seperti baju adat dan ritual tradisi, selalu diberi ruang dalam film-film produksi sineas peranakan. Dalam Terang Boelan, misalnya, penduduk asli ditampilkan menggunakan pakaian batik, dengan untaian bunga di rambut sebagai pemanis. Demikian pula halnya dengan Impian di Bali. Tokoh-tokoh lokal hampir selalu menggunakan pakaian tradisional seperti kebaya atau penutup kepala khas Bali. Sebagai pengiring, ada musik tradisional yang dimainkan menggunakan gamelan dan kecapi.

Pada saat yang bersamaan sineas-sineas keturunan Tionghoa ini turut mengkonstruksi wajah orang Indonesia di layar. Menariknya, banyak aktor dan aktris tersohor pada dekade 1930-an dan 1940-an justru beretnis Tionghoa. Sebut saja Fifi Young, Ferry Kok, dan Tan Tjeng Bok. Nama pertama menarik untuk ditilik lebih lanjut. Fifi Young, terlahir dengan nama Tan Kim Nio, adalah perempuan peranakan yang lahir di Aceh. Asal muasalnya yang multikultur ini berlanjut hingga kiprahnya di layar perak. Di Kris Mataram (1940) ia dikenal sebagai perempuan Jawa berbaju kebaya (yang nantinya menjadi pakaian nasional untuk perempuan Indonesia), sementara di Zoebaida (1940) ia dikenang akan baju tradisional Timor yang membalut tubuhnya sepanjang film.

Di satu sisi, kritikan comot sana sini yang dialamatkan pada sineas-sineas keturunan Tionghoa ada benarnya. Berbagai elemen budaya nusantara seringkali tampil dalam karya-karya mereka tanpa alasan yang jelas dalam konteks naratif film. Populernya film produksi mereka di kalangan penonton pribumi, juga tuntutan untuk menampilkan budaya lokal oleh kalangan penonton yang sama, membuat mereka harus bereksperimen dengan berbagai budaya supaya karya mereka tetap relevan. Patut diingat, bahwa penonton pribumi yang dimaksud di sini juga terdiri dari berbagai suku dan ras.

Di sisi lain, tidak ada acuan bagi sineas-sineas keturunan Tionghoa ini perihal bagaimana seharusnya kebudayaan Indonesia atau Hindia Belanda ditampilkan dalam film. Film-film mereka adalah film lokal pertama yang dibuat untuk menggambarkan kebudayaan nusantara. Justru karena hasil coba-coba para sineas keturunan Tionghoa inilah yang menjadi acuan bagi sineas-sineas pribumi untuk merumuskan dan mewujudkan prinsip-prinsip film nasional setelah Indonesia merdeka.

Gejolak Politik

Pasca kemerdekaan, wacana tentang film nasional dihadapkan dengan perdebatan ideologis antara kelompok kiri dan kanan. Dikotomi ini sesungguhnya menyesatkan, karena terlalu menyederhanakan silang sengkarut kepentingan di antara tokoh-tokoh dan lembaga-lembaga yang melakoni perdebatan ideologis tersebut.

Tudingan yang paling sering dilontarkan: golongan kiri tidak ingin memajukan film dan bioskop, cuma ingin mempolitisirnya untuk melanggengkan kepentingannya dalam bidang kebudayaan. Budiarto Danujaya, menulis untuk buku Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia pada 1992, menyebut periode 1962-1965 sebagai masa-masa gelap film Indonesia. Pekerja-pekerja film Lekra, yang tergabung dalam Lembaga Film Indonesia, dianggap cuma sibuk rapat pleno dan teriak-teriak di jalanan. Boikot mereka terhadap film imperialis Amerika dipandang tidak selaras dengan keinginan masyarakat. Mereka tak becus dalam mengurus perfilman, mereka bahkan tak tahu apa itu film bagus.

Pandangan-pandngan ini, juga pandangan terkait ideologi kiri pada umumnya, awet bertahan hingga kini dan nyaris tidak digugat. Bagaimana mau menggugat, film-film buatan sineas Lekra saja hampir tak bersisa fisiknya. Sinematek Indonesia, lembaga arsip film nasional, hanya menyimpan 26 film dari periode 1957-1965 yang diproduksi Bachtiar Siagian, Basuki Effendi, Kotot Sukardi, dan sineas-sineas kiri lainnya. Dari semua film itu, menurut Salim Said, tidak ada yang layak dipertahankan untuk memperkaya khasanah keanekaragaman corak film Indonesia.

Hilanglah satu konsep film nasional dalam garis sejarah film Indonesia. Sineas-sineas Lekra, juga seniman-seniman lainnya yang tergabung dalam lingkar itu, menjadikan rakyat sebagai akar penciptaan. Tan Sing Hwat, sutradara, dalam sebuah artikel di Harian Rakyat merumuskan apa yang disebut sebagai film semata hiburan dan film sebagai alat kebudayaan, bahkan alat Revolusi. Menurut Tan, sementara ada ada orang berpendapat bahwa film tak lebih dari alat hiburan yang diperdagangnkan. Pendapat ini tak sepenuhnya benar, bahkan bertentangan dengan sejarah perkembangan film itu sendiri. Pendapat itu hanya benar bagi para pedagang-pedagang film yang memproduksi film-film yang sama sekali tak cocok dengan aspirasi rakyat, hingga terkadang sampai menempatkan kepentingan nasional di bawah kepentingan dagangnya. Baginya, yang memisahkan film dengan politik hanyalah pikiran pedagang.

Dalam karya film, orientasi kerakyatan itu terwujud melalui penuturan yang tidak individualistis. Resolusi cerita seringkali dikembalikan kepada massa atau rakyat, alih-alih jatuh pada seorang pribadi tertentu. Krishna Sen menyoroti hal tersebut dalam film Tjorak Dunia (1955) karya Bachtiar Siagian, yang dibandingkan dengan Lewat Djam Malam (1954) karya Usmar Ismail. Kedua film itu mengusung tema yang sama: rehabilitasi sosial mantan pejuang pasca perang kemerdekaan. Keduanya juga sama-sama bertutur dalam kemasan roman populer. Perbedaan Tjorak Dunia dan Lewat Djam Malam baru kentara apabila kita mencermati visi kedua film tersebut tentang Indonesia pasca-kemerdekaan. Tjorak Dunia secara spesifik menampilkan Indonesia yang dihuni oleh kaum papa dan orang-orang pinggiran. Dalam Lewat Djam Malam, warga ekonomi kelas bawah dipotret secara generik sebagai kerumunan orang, dan kalaupun spesifik, mereka hadir sebagai tokoh-tokoh yang bernasib tragis atau berperilaku abnormal. Tjorak Dunia juga secara tegas mengaitkan permasalahan protagonisnya dengan masalah-masalah yang lebih luas di lingkup sosial sekitarnya, begitu juga solusinya. Beda halnya dengan Lewat Djam Malam yang mana masalah protagonisnya bersifat psikologis dan hanya ada dalam kepalanya sendiri.

Peristiwa 30 September 1965 memastikan warisan sineas kiri di bidang film nyaris tak berjejak. Sebagaimana di bidang sastra, Lekra di dunia film juga dimaki-maki sebagai gerombolan perusak. Lekra hanya diingat saat Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) pada 1964 melakukan aksi boikot film impor di bioskop-bioskop di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Lekra jugalah lembaga yang peduli dengan kemajuan dunia film dan peran, dan tidak naif terhadap kepentingan-kepentingan komersil yang mengakar dalam perfilman. Bagi Lekra, film tak hanya soal bagaimana membuat, mendistribusikan, dan menonton di bioskop. Film adalah produk kebudayaan dan karena itu posisinya sangat politis.

Dengan semboyan politik adalah panglima, Lekra mendirikan Lembaga Film Indonesia pada Maret 1959 untuk mewadahi pekerja-pekerja filmnya. Pembentukan lembaga tersebut disepakati dalam Kongres I Lekra di Solo pada Maret 1959. Bachtiar Siagian dan Kotot Sukardi terpilih sebagai ketua dan wakil ketua LFI.

Aras politik perfilman Lekra kentara dengan dukungan mereka terhadap film-film yang membangun kesadaran nasional. Dalam catatan yang dikeluarkan oleh Bachtiar Siagian, masuknya film-film Amerika sejak 1920 hingga 1942 tak lain membantu Belanda mengembangkan rasialisme di Indonesia. Pedagang Tionghoa diberi izin mengimpor film-film takhayul dari Shanghai, dan pada perkembangannya memproduksi film-film serupa untuk konsumsi masayarakat setempat. Pertemuan kepentingan kolonial Belanda dengan modal pedagang Tionghoa menjadi film-film Indonesia pada masa Hindia Belanda steril dari muatan politikhal serupa terjadi juga dalam dunia sastra. Film-film bergenre perkelahian, fantasi, keajaiban, nyanyian, dan romantik bebas berkeliaran hingga Jepang datang. Pada era Kenpetai itulah, tulis Armijn Pane di risalahnya yang berjudul Film-film Tjerita di Indonesia, film menjadi alat propaganda politik Jepang. Barulah pasca penandatangan Konferensi Meja Bundar, hadir perusahaan-perusahaan film buatan pribumi di Indonesia. Ada Persari milik Djamaluddin Malik, Perfini milik Usmar Ismail, juga Perusahaan Umum Produksi Film Negara.

Kelompok kiri pada awalnya menaruh harapan Usmar Ismail dan Perfini. Bachtiar menilai, Perfini memiliki integritas dan komitmen idealis yang tinggi dengan membuat film-film berkesadaran nasional, seperti Embun, Tjitra, serta Darah dan Doa. Film-film ini dipicu oleh pengalaman-pengalaman revolusioner dan oleh karenanya layak diperjuangkan. Sebaliknya, Persari dikecam karena orientasi komersilnya yang begitu kentara. Djamaluddin Malik begitu getol membuat film-film komersil seperti Rodrigo de Villa (1952), sebuah kisah berlatar di Spanyol, yang bagi sineas-sineas Lekra tidak memberi sumbangsih apapun terhadap kebangunan nasional.

Pada perkembangannya, realitas ekonomi membenturkan industri film Indonesia dengan kebutuhan untuk bertahan hidup. Djamaluddin Malik melalui Persari menarik keuntungan dari keadaan itu. Usmar Ismail dengan Perfini harus memilih: antara mempertahankan yang ideal lalu hancur, atau berkompromi dengan keadaan. Usmar memilih yang kedua, sebagaimana yang terlihat dalam film-film Krisis (1953) dan Heboh (1954). Menanggapi ini, Bachtiar Siagian menyesalkan dengan lemahnya posisi film-film ideal di hadapan film-film komersial. Baginya, kebudayaan film pada masa itu tidak ikut aktif dalam usaha pembangunan kebudayaan nasional. Film-film kita hanya menunjukkan ciri-ciri epigon, imitasi, dan akhirnya cuma mengambil posisi yang paling negatif, yaitu pembantu dari intervensi kebudayaan kaum imperialis lewat film-filmnya.

Solidaritas Negara Merdeka

Dominasi film-film Amerika praktis jadi kian mendesak untuk disikapi. Lekra pernah merilis catatan bahwa kurun antara tahun 1960-1961 ada 130 judul film Amerika yang beredar. Seterusnya Jepang (59), India (30), Italia (25), RRT (25), Pakistan (24), Inggris (20), Hongkong (15), Uni Sovyet (10), Singapura (5), Jerman Barat (2), Prancis (1), Lebanon (1), dan RDR Korea Utara (1). Dari kuota pemutaran, AMPAI (America Movie Picture Association of Indonesia) menguasai 70% seluruh gedung bioskop yang ada, tanpa harus punya gedung sendiri. Sisanya dibagi film impor negara Asia, Eropa, dan Afrika. Indonesia hanya kebagian 1%.

Bagi Lekra, situasi ini tidaklah ideal bagi pekerja film Indonesia untuk berkarya demi mewujudkan ideal-ideal kebangsaan. Kondisi ini menuntut penyikapan yang tegas, dan jalan yang dipakai Lekra dan organ-organ famili ideologisnya adalah perlawanan terbuka di ruang-ruang publik. Mereka menuntut agar film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Nantinya, dalam penulisan sejarah film Indonesia, aksi ini diolok-olok sebagai tindakan sepihak dan jadi terdakwa merosotnya jumlah bioskop.

Di sisi lain, dalam percaturan politik internasional, wacana tentang negara-negara Asia dan Afrika sebagai poros kekuatan dunia sedang gencar-gencarnya disuarakan, salah satunya oleh Presiden Soekarno. Bagi beliau, poros Asia-Afrika bisa menjelma menjadi kekuatan baru untuk menghalau dominasi Blok Kapitalisme Amerika dan Blok Komunisme Rusia, tidak saja untuk kelangsungan pembangunan ekonomi dan tawaran posisi politik, tapi juga maslahat kebudayaan untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Hal ini terangkum dalam trisum manifesnya: berdaulat di bidang politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Peristiwa Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 18 April 1955 menghadirkan momentum untuk penyelenggaraan kegiatan kebudayaan antara negara-negara Asia Afrika, mulai dari Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, hingga Festival Film Asia Afrika (FFAA).

Jakarta menjadi tuan rumah FFAA III pada 1964, setelah edisi pertama berlangsung di Taskent pada 1958 dan edisi kedua di Kairo pada 1960. Banyak pegiat film Lekra yang menjadi panitia. Pada FFAA III ini Menteri Olahraga Maladi didaulat sebagai Ketua Kehormatan Komite Nasional dan Utami Suryadarma ditunjuk sebagai Ketua Umum sekaligus Ketua I Komnas FFAA III.

Ajang festival film ini tak semata perta film sebagaimana festival film pada umumnya. Ia adalah peristiwa politik yang hiruk-pikuk. Kehadiran 27 negara di Asia dan Afrika dan dipadati 10 ribu orang di Istora Bung Karno Jakarta pada April 1964 menjadi perayaan solidaritas bagaimana negara-negara Asia Afrika ingin film nasional berdaulat di negerinya sendiri. Ada dua hadiah yang diperebutkan dalam FFAA III, yang ditentukan oleh lima belas juri. Pertama, Bandung Award untuk tujuh film cerita, film anak-anak, dan dokumenter. Kedua, Lumumba Award untuk pencapaian dalam bidang penulisan skenario, penyutradaraan, seni peran, sinematografi, musik, dan art designing.

FFAA III berlangsung dari 19 hingga 30 April 1964. Pemutaran-pemutaran film dilangsungkan setiap hari, siang dan malam, di Markas Besar Ganefo, Istora Senayan. Pemutaran film itu mengikuti abjad negara peserta, sesuai kategori film cerita dan dokumenter. Nantinya film-film yang menang dalam FFAA III akan diputar di bioskop-bioskop berbagai kota di Indonesia sebagai bagian dari Pameran Film AA.

Festival dibuka oleh pidato Presiden Soekarno. Seluruh pidatonya menekankan pentingnya setiakawan AA (Asia-Afrika), setiakawan AAA (Asia-Afrika-Amerika Latin), dan setiakawan Nefo [negara-negara berkembang] dalam perjuangan melawan imperialisme, kolonialisme, dan neokolomialisme. Bung Karno mengharpakan diletakkan titikberat pada solidaritet politik sebab baginya tak ada revolusi di negara-negara Asia dan Afrika yang bisa sukses tanpa solidaritas.

Penutupan FFAA III merupakan momen kelahiran komunike bersama serta sikap bulat berketetapan mengakhiri dominasi imperialis di bidang film di Afrika dan Asia untuk mengembangkan perfilman nasional masing-masing maupun perfilman Afrika-Asia umumnya. Para perwakilan negara-negara peserta sadar sedalam-dalamnya akan arti penting film sebagai alat propaganda dan pendidikan yang paling kuat. Mereka tak mau lagi menjadi penonton atau objek saja dan menyatakan diri sebagai subjek dan pentjipta film.

Momen penutupan festival juga dipakai Lekra untuk menegaskan niatan merdeka di bidang film dengan mendirikan pembentukan Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis AS, dengan Utami Suryadarma sebagai ketua, pada penutupan festival. Keputusan melawan secara terbuka film-film Amerika Serikat via AMPAI di Indonesia adalah ikhtiar menegakkan amanat negara-negara Asia Afrika di FFAA III. Di hadapan Presiden Soekarno, Deklarasi FFAA pada 30 April 1964 oleh ditetapkan sebagai Hari Film Nasional, bukan 30 Maret seperti yang diakui sekarang.



REFERENSI

Armijn Pane, 1953. Produksi Film-film Tjerita di Indonesia: Perkembangannya sebagai Alat Masyarakat.

Charles Coppel, 1983. Indonesian Chinese in Crisis. Oxford: Oxford University Press.

Charlotte Setijadi dan Thomas Barker, 2011. Membayangkan Indonesia: Produser Etnis Tionghoa dan Sinema Pra Kemerdekaan dalam Ekky Imanjaya (ed), 2011. Mau Dibawa Ke Mana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika.

Haris Jauhari (ed), 1992. Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hildred Geertz, 1963. Indonesian Cultures and Communities. Berkeley: University of California Press.

JB Kristanto, 2004. Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Karl G Heider, 1991. Indonesian Cinema: National Culture on Screen. Honolulu: University of Hawaii Press.

Katinka van Heeren, 2012. Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and Ghosts from the Past. Leiden: KITLV Press.

Krishna Sen, 1994. Indonesian Cinema: Framing the New Order. London: Zed Books.

Leo Suryadinata, 1992. Pribumi Indonesians, the Chinese Minority, and China. Ann Arbor: The University of Michigan Press.

Misbach Yusa Biran, 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Depok: Komunitas Bambu.

Misbach Yusa Biran, 2009. Peran Pemuda dalam Kebangkitan Film Indonesia. Jakarta: Kementerian Pemuda dan Olaharga Republik Indonesia.

Muhidin M Dahlan & Rhoma Dwi Aria Yuliantri, 2008. Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. Yogyakarta: Merakesumba.

Salim Said, 1978. Politik adalah Panglima Film. Prisma no 10, November 1978.

Salim Said, 1991. Shadows on the Silver Screen: A Social History of Indonesian Film. Jakarta: The Lontar Foundation.

SM Ardan, 1992. Dari Gambar Idoep ke Sinepleks. Jakarta: Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia.